Pelecehan seksual di tempat kerja biasanya dikaitkan dengan karakteristik tempat kerja seperti toleransi organisasi. Namun, pelecehan seksual juga dapat terjadi ketika ada asimetri insentif antara supervisor dan pekerja. Secara khusus, insentif yang tinggi untuk pekerja dan insentif yang rendah untuk supervisor menciptakan kerentanan pekerja terhadap supervisor yang memiliki kecenderungan untuk melakukan pelecehan seksual. Supervisor dapat meminta bantuan seksual sebagai imbalan atas tinjauan kinerja yang positif atau bonus yang terkait dengan produksi.
Asimetri kekuasaan juga dapat menjadi faktor penyebab. Persepsi tentang kekuasaan relatif dapat membuat supervisor mengabaikan norma-norma organisasi yang terkait dengan ketidakpantasan pelecehan seksual di tempat kerja. Asimetri kekuasaan juga dapat memengaruhi persepsi pekerja tentang kemampuannya untuk mencari pekerjaan alternatif. Menganalisis kumpulan data mikro yang dikumpulkan di pabrik-pabrik pakaian yang berpartisipasi dalam Better Work di Haiti, Yordania, Vietnam, dan Nikaragua, kami menemukan bukti bahwa insentif asimetris antara penyelia dan pekerja serta asimetri kekuasaan antara penyelia dan pekerja memprediksi kekhawatiran yang lebih tinggi terhadap pelecehan seksual di antara para pekerja. Meningkatnya persaingan di antara perusahaan-perusahaan untuk mendapatkan pekerja dapat mengurangi pelecehan seksual.
Dampak dari kesadaran organisasi bersifat ambigu. Kesadaran akan pelecehan seksual oleh manajer SDM di Haiti, Yordania, dan Vietnam tidak diterjemahkan ke dalam norma organisasi yang mencegah pelecehan seksual. Namun, di Nikaragua, kami mengamati adanya korelasi negatif antara kesadaran manajer SDM tentang pelecehan seksual dan kejadiannya. Menelusuri dampak pelecehan seksual terhadap hasil produksi dan tingkat kompensasi pekerja dan penyelia, kami menunjukkan kerugian yang ditimbulkan dalam bentuk keuntungan yang hilang bagi perusahaan yang sering melakukan pelecehan seksual.