7.1. Sistem dan Kebijakan Manajemen K3

10 Oktober 2014

Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) mencakup struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur, proses, dan sumber daya yang dibutuhkan untuk mengembangkan, menerapkan, mencapai, meninjau, dan memelihara kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja untuk mengendalikan risiko yang terkait dengan kegiatan kerja dan untuk menciptakan tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif.

Perusahaan yang mempekerjakan 100 orang atau lebih dan/atau memiliki potensi bahaya yang ditimbulkan oleh karakteristik bahan proses produksi yang dapat mengakibatkan kecelakaan seperti ledakan, kebakaran, pencemaran dan penyakit akibat kerja wajib menerapkan Sistem Manajemen K3.

Langkah awal untuk menerapkan SMK3 adalah dengan menunjukkan komitmen dan menetapkan kebijakan K3, yang merupakan pernyataan tertulis yang ditandatangani oleh pengusaha atau manajemen yang mencakup keseluruhan visi dan tujuan, komitmen dan tekad untuk menerapkan K3, kerangka kerja dan program kerja yang mencakup kegiatan umum dan / atau operasional perusahaan.

Kebijakan K3 dibuat melalui proses konsultasi antara manajemen dan perwakilan pekerja yang kemudian harus dijelaskan dan disebarluaskan kepada seluruh pekerja, pemasok dan pelanggan. Kebijakan K3 bersifat dinamis dan akan selalu ditinjau ulang untuk meningkatkan kinerja K3.

REFERENSI HUKUM:

UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN NO. 13 TAHUN 2003, PASAL-PASAL. 86-87;
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENERAPAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA NO. 50 TAHUN 2012;
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NO.PER.05/MEN/1996 [PERATURAN MENAKER NO.PER.05/MEN/1996];
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NO.PER.18/MEN/XI/2008, PASAL. 2(1) [PERATURAN MENAKERTRANS NO.PER.18/MEN/XI/2008, PASAL 2(1)].

7.1.1. Komite Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Perusahaan yang diwajibkan untuk membentuk Komite K3 adalah:

  • Perusahaan yang mempekerjakan 100 orang atau lebih; atau
  • Perusahaan yang mempekerjakan kurang dari 100 orang tetapi menggunakan bahan, proses, dan memiliki instalasi yang memiliki risiko tinggi terhadap ledakan, kebakaran, keracunan, dan radiasi radioaktif

Komite K3 terdiri dari perwakilan pekerja dan manajemen dan bertanggung jawab untuk memantau dan menerapkan kebijakan K3.

Ketua Komite K3 haruslah seorang perwakilan manajemen tingkat tinggi. Sekretaris Komite K3 haruslah seorang ahli K3 Umum yang bersertifikat. Untuk dapat ditunjuk, ia harus mengikuti kursus pelatihan K3 Umum selama dua minggu yang diselenggarakan oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan menerima surat penunjukan dari Kementerian.

Komite K3 wajib menyampaikan laporan kegiatan komite K3 kepada Dinas Tenaga Kerja setempat yang ditujukan kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi setiap 3 bulan sekali.

Studi Kasus: Komite K3 dibentuk di sebuah pabrik garmen. Manajer Umum merasa bahwa ia terlalu sibuk untuk terlibat, sehingga ia menunjuk Petugas Kepatuhan yang merupakan Ahli Umum K3 bersertifikat sebagai ketua komite. Hal ini merupakan praktik yang tidak diperbolehkan. Manajer Umum atau manajer tingkat tinggi harus bertanggung jawab sebagai Ketua Komite K3 dan Petugas Kepatuhan yang bersertifikat Ahli Umum K3 harus menjadi Sekretaris Komite K3.

REFERENSI HUKUM:

UNDANG-UNDANG KESELAMATAN KERJA NO.1 TAHUN 1970, PASAL. 10 [UU KESELAMATAN KERJA NO. 1 TAHUN 1970, PASAL 10];
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NO. PER.03/MEN/1978 [PERATURAN MENAKERTRANS NO. PER.03/MEN/1978];
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NO. PER-05/MEN/1996, LAMPIRAN II, BAGIAN 1.4 [PERATURAN MENAKER NO. PER-05/MEN/1996, LAMPIRAN II, BAGIAN 1.4];
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NO. PER.04/MEN/1987.

7.1.2. Lisensi Operator Mesin dan Sertifikasi Instalasi Listrik

Pengusaha harus mendapatkan izin operator dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk beberapa jenis mesin tertentu di tempat kerja, termasuk ketel uap, bejana bertekanan, generator listrik dan mesin produksi, serta alat pengangkat dan pengangkut.

Pemberi kerja juga harus memastikan bahwa instalasi batang penerangan dan semua instalasi listrik di tempat kerja dipasang dengan benar dan disertifikasi sesuai dengan standar nasional.

REFERENSI HUKUM:

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI TENTANG BEJANA TEKAN NO. PER.01/MEN/1982 [PERATURAN MENAKERTRANS TENTANG BEJANA TEKAN NO. PER. 01/MEN/1982];
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI TENTANG PESAWAT DAN MESIN PRODUKSI NO. PER.04/MEN/1985 [PERATURAN MENAKERTRANS TENTANG PESAWAT TENAGA DAN PRODUKSI NO.PER.04/MEN/1985];
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI TENTANG ALAT ANGKAT DAN ANGKUT NO. PER.05/MEN/1985 [PERATURAN MENAKER TENTANG PESAWAT ANGKAT DAN ANGKUT NO. PER.05/MEN/1985];
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang Kualifikasi dan Persyaratan Tenaga Kerja dan Operator Boiler NO. PER.01/MEN/1988 [PERATURAN MENAKER TENTANG KWALIFIKASI DAN SYARAT-SYARAT OPERATOR PESAWAT UAP NO. PER.01/MEN/1988];
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI TENTANG OPERATOR DAN PETUGAS ALAT ANGKAT DAN ANGKUT NO. PER.09/MEN/VII/2010 [PERATURAN MENAKERTRANS TENTANG OPERATOR DAN PETUGAS PESAWAT ANGKAT DAN ANGKUT NO. PER.09/MEN/VII/2010];
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI TENTANG PEMERIKSAAN INSTALASI PENERANGAN NO. PER.02/MEN/1989 [PERATURAN MENAKERTRANS TENTANG PENGAWASAN INSTALASI PENYALUR PETIR];
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) NO. SNI-04-0225-2000 TENTANG PERSYARATAN UMUM INSTALASI LISTRIK 2000 (PUIL 2000) DI TEMPAT KERJA NO. KEP.75/MEN/2002 [KEPUTUSAN MENAKERTRANS TENTANG PEMBERLAKUAN STANDAR NASIONAL INDONESIA NOMOR : SNI-04-0225-2000 TENTANG PERSYARATAN UMUM INSTALASI LISTRIK 2000 (PUIL 2000) DI TEMPAT KERJA];
STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI) TENTANG PERSYARATAN UMUM INSTALASI LISTRIK 2000 (PUIL 2000) NO. SNI-04-0225-2000 [STANDAR NASIONAL INDONESIA TENTANG PERSYARATAN UMUM INSTALASI LISTRIK 2000 (PUIL 2000) NO. SNI 04-0225-2000].

7.1.3. Keselamatan Bangunan

Pengusaha harus mendapatkan izin mendirikan bangunan dari Kementerian Pekerjaan Umum. Setiap bangunan harus memenuhi persyaratan administratif dan teknis sesuai dengan fungsi dan keselamatan bangunan.

REFERENSI HUKUM:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 28 TAHUN 2002 TENTANG BANGUNAN GEDUNG [UU_No_28_2002 TENTANG BANGUNAN GEDUNG]
PERATURAN PEMERINTAH NO. 36 TAHUN 2005 TENTANG BANGUNAN GEDUNG [PP No 36 Th 2005_TENTANG BANGUNAN DAN GEDUNG]
PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NO 16/PRT/M/2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PEMERIKSAAN BERKALA BANGUNAN GEDUNG [Peraturan Menteri PU No 16_2010_PEMERIKSAAN BANGUNAN RUTIN]

Berlangganan Buletin kami

Ikuti perkembangan berita dan publikasi terbaru kami dengan berlangganan buletin reguler kami.